Disneyland 1972 Love the old s
http://1.bp.blogspot.com/-1ZwvlDO3JRY/TkvqgDgCWgI/AAAAAAAABqU/ypz1d9tnER8/s1600/abu-bakar-baasyir-biografi-web-2.jpg
Biografi Ust.Abu Bakar Ba’asyir Ust. Abu Bakar Ba’asyir lahir di desa Pekunden, kecamatan
Mojoagung, kabupaten Jombang Jawa Timur,
sebuah desa di pingiran kabupaten jombang Jawa
Timur. Kelahirannya di Jombang disambut sayup-
sayup senandung takbir yang terdengar di sudut-
sudut desa yang didengungkan anak-anak melalui surau-surau tua di sekitar rumahnya. Senandung
takbir perayaan peringatan keteladanan
pengorbanan Bapak Tauhid, Ibrahim AS yang
hendak menyembelih putranya. Ia terlahir pada tanggal 12 Dzulhijjah 1359, dua
hari setelah Hari Raya Idul Adha. Gemuruh takbir
yang menggetarkan hati beriringan dengan
gemuruh bangsa Indonesia yang sedang
memperjuangkan kemerdekaannya untuk keluar
dari penjajahan tentara kafir Belanda dalam suasana serba kekurangan dan keprihatinan.
Tanggal kelahirannya bertepatan dengan tanggal
17 Agustus 1938. Raut muka syukur dan linangan
air mata syukur kedua orang tuanya mengiringi
kelahiran sosok Abu Bakar Ba’syir yang
diharapkan meneladani pengorbanan Ibrahim dan semangat patriotisme seorang pejuang dalam
mempertahankan prinsip kebenaran dan
keislaman. Ia terlahir bersama tiga saudara laki-laki
dan tiga saudara perempuan. Orang tua Abu Bakar Ba’asyir bukanlah seorang
yang kaya raya selayaknya kebanyakan warga
masyarakat keturunan Arab lainnya. Namun,
kecintaan terhadap Islam dan ketundukan orang
tuanya pada Allahlah yang menjadikan Abu bakar
kecil ini mampu bertahan. Darah keturunan Hadramaut Yaman mengalir deras dalam dirinya.
Ayahnya bernama Abud bin Ahmad dari keluarga
Bamu’alim Ba’asyir yang membuat Abu Bakar
menyandang marga Ba’asyir di belakang nama
aslinya. Kenangan indah bersama sang ayah tak
banyak ia rasakan dan ia nikmati. Saat usia tujuh tahun, ayahnya harus meninggalkan tawa riang
Abu Bakar kecil menuju keharibaan Ilahi. Ayahnya
meninggal dunia. Ia menjadi yatim di tengah
kehidupan bangsa Indonesia yang masih kacau
meskipun telah memperoleh kemerdekaannya. Di tengah carut marutnya kehidupan bangsa
Indonesia, ibunya yang masih buta huruf latin
aksara Indonesia mengasuh sendiri Abu Bakar
kecil. Ibunya bernama Halimah yang lahir di
Indonesia walaupun masih juga berketurunan
Yaman dari keluarga Bazargan. Demi melanjutkan amanat agama dan suaminya, sang Bunda terus
menanamkan nilai-nilai keislaman demi
kebahagiaan sang putra kelak. Ibundanya yang
pandai membaca al Quran dan seorang muslimah
taat beragama selalu mendampingi pendidikan
agama sang anak di rumah meskipun Abu Bakar kecil juga tak pernah absen menghadiri
pendidikan agama di mushala kampung tempat
tinggalnya. Tak ingin membiarkan anaknya tertinggal dalam
kebodohan, orang tuanya memasukkan Abu
Bakar kecil untuk menempuh pendidikan
pertamanya di sebuah Madrasah Ibtida’iyah
(Sekolah Islam setingkat SD). Namun, dikarenakan
situasi konflik revolusi bangsa Indonesia melawan Belanda pada saat itu, sekolahnya harus tertunda
dan mengalami jeda. Baru kemudian setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia
dipindahkan ke Sekolah Rakyat (Sekolah umum
sederajat SD saat ini). Selama menjadi siswa di
madrasah, Abu Bakar kecil sempat ikut kegiatan gerakan Kepanduan Islam Indonesia (pada masa
orde lama yang kemudian difusikan dalam
Gerakan Pramuka). Untuk menutup kekurangan
sang anak dalam ilmu agama, setiap malamnya,
Abu Bakar kecil belajar mengaji dan ilmu agama di
musholla desa tempat tinggalnya. Selain kegiatannya di musholla, sang bunda masih terus
mendampingi langsung pendidikan Abu Bakar
kecil di rumah. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR),
pendidikannya berlanjut ke jenjang sekolah
menengah. Ia bersekolah di sebuah SMP Negeri di
kota Jombang yang berjarak 13 km dari rumah
tempat tinggalnya. Setiap hari, perjalanan sejauh
minimal 26 Km ia tempuh dengan sepeda. Semasa SMP ini, Abu Bakar aktif mengikuti kegiatan
berorganisasi dalam Gerakan Pemuda Islam
Indonesia (GPII) ranting Mojoagung disamping
masih menjadi anggota Gerakan Pramuka. Menginjak masa remaja setelah merampungkan
sekolah di SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke
jenjang SMA. Saat itu, ia masuk SMA Negeri
Surabaya. Kondisi perekonomian Indonesia yang
sedang mengalami keterpurukan merata di seluruh
lapisan masyarakat membuat pendidikannya di SMA hanya mampu bertahan selama 1 tahun.
Kegiatan berorganisasinya pun juga terpaksa
harus terhenti. Selanjutnya, ia memutuskan hijrah
ke Solo untuk membantu kakaknya yang sedang
mengembangkan sebuah perusahaan sarung
tenun di Kota Solo. Hingga pada tahun 1959 M, atas dorongan dan
bantuan kedua kakaknya, Salim Ba’asyir dan
Ahmad Ba’asyir, ia mendaftar sebagai santri di
Pondok Pesantren Darussalam Gontor, sebuah
Pondok Pesantren yang terbilang terbaik dan
termaju di Indonesia. Atas berkat rahmat Allah SWT, ia berhasil menjadi santri di pondok pesantren
tersebut. Di sini, keaktifan berorganisasinya
kembali tersalurkan dalam wadah Pelajar Islam
Indonesia (PII) cabang Gontor. Impiannya
melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti
membuatnya serasa melihat pelita di tengah buta kegelapan malam. Empat tahun menjadi santri pondok pesantren
Darussalam Gontor, dengan rahmat Allah, ia
berhasil lulus dari kelas Mualimin pada tahun 1963
M. Semangatnya untuk menempuh pendidikan
masih membara di benaknya sehingga (masih atas
bantuan kakaknya), ia melanjutkan studinya di Universitas Al Irsyad jurusan Dakwah di kota Solo
selama kurang lebih tiga tahun. Selama menjadi mahasiswa , ia aktif dalam
beberapa organisasi pemuda. Ia menjadi anggota
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Di
HMI, dia pernah mendapatkan amanah sebagai
ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) -
sebuah lembaga semi otonom HMI- cabang Solo di masa Ir. Imaduddin sebagai Ketua Umumnya. Di
organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Abu
Bakar Ba’syir pernah mendapatkan amanat
dakwah sebagai Ketua pada tahun 1961. Selain itu,
di dalam organisasi Pemuda Al Irsyad, ia menjadi
sekreatis cabang Solo. Menginjak usia dewasa, panggilan hati untuk
menikah mengarahkannya untuk menyunting
seorang muslimah bernama Aisyah binti
Abdurrahman Baraja’. Sejak saat itu, keberadaan
sang istri selalu menyertai perjuangan dakwahnya.
Kesetiaan sang istri tak hanya dibuktikan dengan kata mutiara dan hiasan pujian semata. Namun,
keberadaan sang istri, Aisyah Baraja’, dalam
perjuangan dakwah terwujud dalam tindakan
nyata dan fakta. Dari rahim istrinya, keduanya
memiliki tiga orang anak yang saat ini telah
menikah dan masih hidup semuanya. Tiga anaknya terdiri atas 1 orang putri dan 2 orang putra. Mereka
adalah Zulfah, Rosyid Ridho dan Abdul Rohim. Perjalanan dakwahnya kemudian berlanjut dengan
mendirikan radio dakwah yang di namai radio ABC
(Al-Irsyad Broadcasting Center) di gedung Al
Irsyad Solo yang hingga kini masih berdiri. Ikut
aktif bersama beliau adalah Ustadz Abdullah
Sungkar (rhm), Ustadz Abdullah Thufail (rhm),dan Ustadz Hasan Basri (rhm). Karena terjadi
perselisihan faham dengan beberapa pengurus Al-
Irsyad terkait acara radio tersebut, maka beliau
keluar bersama beberapa pengurus radio ABC dan
mendirikan Radio Dakwah Islamiah Surakarta
(Radis) yang padat dengan muatan dakwah yang tegas dan menghindari lagu-lagu maksiat. Radis
didirikan di komplek masjid Al Mukmin lama yang
akhirnya ditutup oleh rezim orba karena dianggap
menentang pemerintah. Tak cukup hanya dakwah lewat frekuensi udara,
beliau mendirikan madrasah diniyah (semacam
lembaga non formal yang mengajarkan
pendidikan agama Islam yang biasanya
diselenggarakan pada sore hari) di komplek masjid
Al Mukmin Gading Wetan (saat ini menjadi SMU Islam 1 Surakarta, bukan SMU Al-Islam 1
Surakarta). Pada mulanya, madrasah yang hanya
masuk sore hari ini memberikan pendidikan
Bahasa Arab dan materi syariat Islam. Selanjutnya,
melalui madrasah diniyah inilah, cikal bakal
Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki kemudian berdiri hingga sekarang. Melihat pekembangan madrasah yang pesat dan
didorong oleh amanah yang diamanatkan oleh KH.
Zarkasyi (Pendiri Pondok Pesantren Darussalam
Gontor), Abu Bakar Ba’asyir berinisiatif
mengembangkan madrasah diniyah menjadi
pondok pesantren yang saat itu bertempat di Gading Kidul-Surakarta menempati area yang
sempit. Barulah setelah 2 tahun kemudian, Pondok
Pesantren Al Mukmin dipindahkan ke tanah yang
lebih luas di desa Ngruki yang dibeli dari salah
seorang tokoh agama di solo. Desa Ngruki sendiri
saat itu masih ”dikuasai” oleh kalangan komunis yang masih cukup kental. Bersama Ustadz .
Abdullah Sungkar, Ustadz . Hasan Basri, . Abdullah
Baraja’ , Ustadz . Yoyok Raswadi, dan ustadz Abdul
Qahar Haji Daeng Matase, ust. Abu Bakar Ba’asyir
terus membangun dan mengembangkan
pendidikan di pesantern Al-mukmin. Pendukung utama berdirinya pondok pesantren tersebut
adalah anggota pengajian-pengajian yang diasuh
oleh tokoh-tokoh pendiri, terutama anggota
pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta.
Alhamdulillah, hingga sampai saat ini kegiatan
pengajian tersebut masih berjalan. Sejak awal, ust. Abu Bakar Ba’asyir dan teman-
temannya mempunyai karakter yang tak enggan
menyampaikan kebenaran dimanapun dan
apapun keadaan yang harus di hadapinya
walaupun harus berhadapan dengan penguasa.
Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah menjadi gerah. Karena materi yang disampaikan
dianggap menentang rezim saat itu, akhirnya Ust.
Abdullah Sungkar, Ust. Hasan Basri, dan ust. Abu
Bakar Ba’asyir sendiri dipenjara selama 4 tahun
tanpa alasan yang jelas hingga akhirnya Ust.
Abdullah Sungkar dan ust. Abu Bakar Ba’asyir kembali divonis hukuman 9 tahun penjara. Tidak
terima dengan keputusan hakim, maka beliau
berdua mengajukan banding, hingga diturunkan
menjadi 4 tahun sesuai dengan masa tahanan yang
sudah dijalani. Tak puas dengan hasilnya, jaksa
agung mengajukan kasasi ke MA. Dua orang ustadz ini seringkali disebut oleh
sebagian kalangan sebagai dwi tunggal. Jika orang
nasionalis punya Soekarno-Hatta, maka orang-
orang pergerakan Islam memiliki Abdullah
Sungkar-Abu Bakar Ba’asyir. Setelah bebas,
sembari menunggu hasil kasasi, ust. Abu Bakar Ba’asyir bersama Ust. Abdullah Sungkar (rhm),
tetap melanjutkan aktivitas pendidikan dan
dakwah mereka sepertimana semula. Hal ini
menjadikan rezim orba menekan MA untuk
menaikkan masa hukuman menjadi 9 tahun agar
menjadi alasan bagi penangkapan mereka kembali. Ketika panggilan dari pengadilan
Sukoharjo untuk mendengarkan keputusan
pengadilan datang, sang dwitunggal memahami
benar maksud dan tujuan licik pemerintah. Maka
setelah berkonsultasi dengan beberapa ulama,
mereka berdua memutuskan untuk tidak menghadiri undangan pengadilan tersebut karena
hal tersebut adalah dosa. Hingga tidak ada pilihan
lain bagi mereka kecuali berhijrah atau tetap di
rumah hingga ditangkap oleh polisi. Bagi
keduanya, hal demikian adalah lebih mulia di sisi
Allah SWT daripada datang menyerahkan diri kepada thaghut. Nampaknya pilihan hijrah-lah
yang dipilih, karena jalan ini adalah yang paling
baik dari kedua pilihan itu. Berkat pertolongan
Allah melalui Pak Muhammad Natsir, mantan Ketua
Umum Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, mereka berdua berhasil berhijrah ke Malaysia dan menetap di sana. Kemudian,
keberadaan mereka disusul oleh keluarga yang
kemudian juga turut menetap di sana selama 15
tahun. Selama masa hijrah, beliau tetap bekerja dan
berdakwah seperti semula. Tahun 1998, Allah SWT berkehandak
meruntuhkan kekuasaan orde baru yang zalim.
Kemudian, ust. Abu Bakar Ba’asyir memutuskan
kembali ke Indonesia bersama Ust. Abdullah
Sungkar pada tahun 1999. Namun tak berselang
lama, tepatnya pada tahun 2000 M, Ustadz Abdullah Sungkar wafat. Kemudian, ust. Abu Bakar
Ba’asyir memutuskan kembali ke ponpes Al
Mukmin Ngruki meneruskan pendidikan dan
dakwah untuk menegakkan cita-cita demi
tegaknya syariat Islam di Indonesia. Dalam rangka
mengembangkan dakwah, ust. Abu Bakar Ba’asyir mengikuti kongres umat Islam yang digagas oleh
beberpa aktivis dakwah di Yogyakarta, dimana
pada kongres tersebut, umat Islam sepakat
membuat sebuah wadah untuk kaum muslimin
bersatu demi menegakkan kalimah Allah di bumi
Indonesia, hingga terbentuklah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Hasil kongres memutuskan Ust.
Abu Bakar Ba’asyir diangkat menjadi Amir Ahlul
Halli Wal Aqdi (AHWA) MMI atau juga di sebut
sebagai Amir MMI. Tahun 2003, beliau ditangkap lagi oleh
pemerintahan Megawati karena dituduh terlibat
kegiatan terorisme yang membuatnya divonis 1,5
tahun walaupun tanpa bukti. Anehnya vonis itu di
jatuhkan bukan karena keterlibatan dengan
terorisme seperti yang selama ini di tuduhkan kepadanya. Arah tuduhan di persidangan
berbelok dari urusan terorisme kepada tuduhan
makar dan pemalsuan KTP, walau saksi-saksi di
persidangan dari kalangan pejabat pemerintah
daerah Sukoharjo sendiri menyatakan bahwa tidak
ada kejanggalan apapun pada proses pembuatan KTP ust. Abu Bakar Ba’asyir. Tahun 2004, setelah keluar dari pintu penjara
salemba, beliau langsung dicegat oleh polisi untuk
dijebloskan kembali ke penjara. Lagi-lagi karena
tuduhan yang sama. Dia dianggap terlibat kasus
bom hotel Marriot. Padahal, saat kejadian Bom
Mariott berlangsung, beliau sendiri sedang mendekam di penjara Salemba sejak 1.5 th
sebelumnya. Hingga pada saat pemerintahan SBY,
ust. Abu Bakar Ba’asyir tetap harus tinggal di
penjara hingga 30 bulan karena tekanan pihak
asing hingga bulan Juni 2006. Baru Kemudian
beliau merasakan kebebasan. Selanjutnya, aktivitas dakwahnya masih beliau lanjutkan dengan
berkeliling ke seluruh Indonesia untuk
mensosialisasikan penegakan Syariat Islam di
Indonesia. Tak hanya kalangan ulama yang ia
datangi, tak kurang dari pemukiman penduduk,
perumahan, perkantoran, majelis-majelis taklim, masjid, mushola, pejabat, dan birokrat serta
penjara ia datangi bersama beberapa aktivis Islam
baik dari Majelis Mujahidin Indonesia maupun yang
elemen Islam lainnya. Kesibukannya berdakwah
selepas dari penjara hampir tidak menyisakan
waktu di rumah untuk bercengkerama dengan keluarganya, anak-anak, serta cucunya selayaknya
orang-orang tua yang telah menikmati masa
pensiun, karena beliau tahu benar bahwa dunia
dakwah tak memiliki masa pensiun.