http://sejarahperang.files.wordpress.com/2008/07/salahudin1.jpg
Biografi Salahudin Al-
Ayubi (1138 - 1193 M) Shalahuddin Al-Ayubi terlahir dari
keluarga Kurdish di kota Tikrit
(140km barat laut kota Baghdad)
dekat sungai Tigris pada tahun
1137M. Masa kecilnya selama
sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota
dinasti Zangid yang memerintah
Syria, yaitu Nur Ad-Din atau
Nuruddin Zangi. Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya
Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah
Ad-Din Ibn Ayyub atau Saladin/
salahadin (menurut lafal orang
Barat) adalah salah satu pahlawan
besar dalam tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari
pahlawan perang ini adalah
perayaan hari lahir Nabi Muhammad
SAW yang kita kenal dengan sebutan
maulud atau maulid, berasal dari
kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang
tahun. Berbagai perayaan ulang
tahun di kalangan/organisasi muslim
sering disebut sebagai milad atau
miladiyah, meskipun maksudnya
adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi. Selain belajar Islam, Shalahuddin pun
mendapat pelajaran kemiliteran dari
pamannya Asaddin Shirkuh, seorang
panglima perang Turki Seljuk.
Kekhalifahan. Bersama dengan
pamannya Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan
terakhir dari kekhalifahan Fatimid
(turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri
Nabi Muhammad SAW). Dinobatkannya Shalahuddin menjadi
sultan Mesir membuat kejanggalan
bagi anaknya Nuruddin, Shalih
Ismail. Hingga setelah tahun 1174
Nuruddin meninggal dunia, Shalih
Ismail bersengketa soal garis keturunan terhadap hak
kekhalifahan di Mesir. Akhirnya
Shalih Ismail dan Shalahuddin
berperang dan Damaskus berhasil
dikuasai Sholahuddin. Shalih Ismail
terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru
hingga terbunuh pada tahun 1181.
Shalahuddin memimpin Syria
sekaligus Mesir serta mengembalikan
Islam di Mesir kembali kepada jalan
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam menumbuhkan wilayah
kekuasaannya Shalahuddin selalu
berhasil mengalahkan serbuan para
Crusader dari Eropa, terkecuali satu
hal yang tercatat adalah Shalahuddin
sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan
Kingdom of Jerusalem (kerajaan
singkat di Jerusalem selama Perang
Salib). Namun mundurnya
Sholahuddin tersebut
mengakibatkan Raynald of Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land
Jerusalem memrovokasi muslim
dengan mengganggu perdagangan
dan jalur Laut Merah yang digunakan
sebagai jalur jamaah haji ke Makkah
dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald mengancam menyerang
dua kota suci tersebut, hingga
akhirnya Shalahuddin menyerang
kembali Kingdom of Jerusalem di
tahun 1187 pada perang Battle of
Hattin, sekaligus mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan
menangkap rajanya, Guy of
Lusignan. Akhirnya seluruh Jerusalem kembali
ke tangan muslim dan Kingdom of
Jerusalem pun runtuh. Selain
Jerusalem kota-kota lainnya pun
ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus.
Jatuhnya Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan
Perang Salib Ketiga atau Third
Crusade. Perang Salib Ketiga ini menurunkan
Richard I of England ke medan
perang di Battle of Arsuf.
Shalahuddin pun terpaksa mundur,
dan untuk pertama kalinya Crusader
merasa bisa menjungkalkan invincibilty Sholahuddin. Dalam
kemiliteran Sholahuddin dikagumi
ketika Richard cedera, Shalahuddin
menawarkan pengobatan di saat
perang di mana pada saat itu ilmu
kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya. Pada tahun 1192 Shalahuddin dan
Richard sepakat dalam perjanjian
Ramla, di mana Jerusalem tetap
dikuasai Muslim dan terbuka kepada
para peziarah Kristen. Setahun
berikutnya Shalahuddin meninggal dunia di Damaskus setelah Richard
kembali ke Inggris. Bahkan ketika
rakyat membuka peti hartanya
ternyata hartanya tak cukup untuk
biaya pemakamannya, hartanya
banyak dibagikan kepada mereka yang membutuhkannya. Data lengkap tentang King Salahudin
Al-Ayubi
Memerintah 1174 M. – 4 Maret-1193
M.
Dinobatkan 1174 M.
Nama lengkap Yusuf Ayyubi Lahir 1138 M. di Tikrit, Iraq
Meninggal 4 Maret-1193 M. di
Damaskus, Syria
Dimakamkan Masjid Umayyah,
Damaskus, Syria
Pendahulu Nuruddin Zengi Pengganti Al-Aziz
Dinasti Ayyubid
Ayah Najmuddin Ayyub Selain dikagumi Muslim, Shalahuddin
atau Saladin/salahadin mendapat
reputasi besar di kaum Kristen Eropa,
kisah perang dan kepemimpinannya
banyak ditulis dalam karya puisi dan
sastra Eropa, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter
Scott. Masa lalu memang tidak mudah pergi
meskipun kita seperti tak
ingin menengoknya. Bahkan di salah
satu tembok Masjid
Umayyah yang dulu adalah Katedral
Yahya Pembaptis yang dipermak jadi masjid yang indah di
tahun 700-an itu, seorang
sejarawan masih menemukan sisa
inskripsi ini: "Kerajaan-Mu, ya,
Kristus, adalah kerajaan abadi...." Tapi jika masa lalu tak mudah pergi,
dari bagian manakah dari
Saladin yang akan datang kepada
kita kini? Dari ruang makamnya
yang kusam, mitos apa yang akan
kita teruskan? Kisah Saladin adalah kisah peperangan. Dari
zamannya kita dengar cerita
dahsyat bagaimana agama-agama
telah menunjukkan
kemampuannya untuk memberi
inspirasi keberanian dan ilham pengorbanan - yang kalau perlu
dalam bentuk pembunuhan. Tapi sebagian besar kisah Saladin -
yang tersebar baik di Barat
maupun di Timur dari sejarah Perang
Salib yang panjang di abad
ke- 12 itu - adalah juga cerita
tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang
sebenarnya tak ingin menumpahkan
darah. Saladin merebut Jerusalem
kembali di musim panas 1187.
Tapi menjelang serbuan, ia beri
kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar
mereka bisa melawan
pasukannya dengan terhormat. Dan
ketika pasukan Kristen itu
akhirnya kalah juga, yang dilakukan
Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak.
Saladin malah membebaskan
sebagian besar mereka, tanpa
dendam, meskipun dulu, di tahun
1099, ketika pasukan Perang Salib
dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim
kota itu dibantai dan sisa-sisa
orang Yahudi digiring ke sinagog
untuk dibakar. "Anakku," konon begitulah pesan
Sultan itu kepada anaknya,
az-Zahir, menjelang wafat, "...Jangan
tumpahkan darah... sebab
darah yang terpercik tak akan
tertidur." Dalam hidupnya yang cuma 55
tahun, ikhtiar itulah yang
tampaknya dilakukan Saladin.
Meskipun tak selamanya ia tanpa
cacat, meskipun ia tak jarang
memerintahkan pembunuhan, kita toh tahu, bagaimana pemimpin
pasukan Islam itu bersikap baik
kepada Raja Richard
Berhati Singa yang datang dari
Inggris untuk mengalahkannya.
Ketika Richard sakit dalam pertempuran, Saladin mengiriminya
buah pir yang segar dingin dalam
salju, dan juga seorang dokter.
Lalu perdamaian pun
ditandatangani, 1 September 1192,
dan pesta diadakan dengan pelbagai
pertandingan, dan orang Eropa
takjub bagaimana agama Islam bisa
melahirkan orang sebaik itu. Kita sekarang juga mungkin takjub
bagaimana masa lalu bisa
melahirkan orang sebaik itu.
Terutama ketika orang hanya
mencoba menghidupkan kembali
apa yang gagah berani dari abad ke- 12 tapi meredam apa yang
sabar dan damai dari sebuah
zaman yang penuh peperangan.
Tapi pentingkah sebenarnya
masa silam? Dari makam telantar orang Kurdi
yang besar itu, suatu hari di
tahun 1970-an, saya kembali ke
pusat Damaskus, lewat lorong
bazar yang sibuk di depan Masjid
Umayyah. Kota itu riuh, keriuhan yang mungkin tanpa
sejarah.


Old school Easter eggs.